AKIDAH NU & MUHAMMADIYAH
Madzhab Akidah, Fiqih, dan Tasawuf NU
NU mendasarkan paham keagamaannya pada Al-Qur’an, hadist, ijma’ dan qiyas.
Pemahaman terhadap Al-Qur’an dan Hadist sendiri tentu berbeda-beda antara satu
paham dan lainnya. Jadi, meskipun paham-paham dalam Islam mendasarkan sikap
keagamaan terhadap Al-Qur’an dan Hadist, namun pemahaman dan tafsir atas dasar
tersebut berbeda.
Dalam memahami dan menafsirkan Islam dari sumbernya, NU mengikuti
Ahlussunnah wal Jamaah dengan menggunakan jalan pendekatan madzhab:
1. Dalam bidang akidah, NU mengikuti paham Ahlussunnah wal Jamaah yang
dipelopori oleh Imam Abu al-Hasan Al-Asy’ari dan Imam Abu Mansur Al-Maturidi
2. Dalam bidang fiqih, NU mengikuti jalan pendekatan (madzhab salah satu
dari madzhab Imam Abu Hanifah an-Nu’man, Imam Malik bin Anas, Imam Muhammad bin
Idris As-Syafi’i, dan Imam Ahmad bin Hanbal.
3. Dalam bidang tasawuf mengikuti, antara lain Imam Junaid al-Baghdadi dan
Imam Al-Ghazali, serta imam-imam lainnya,[2] seperti
Syekh Abdul Qadir Al-Jailani.
4. Dalam Siyasah mengikuti Abu al-Hasan Ali Ibn Muhammad al-Mawardi
Di bawah ini dijelaskan lebih rinci tentang sikap keagamaan NU, baik dalam hal akidah, syariah, tasawuf, dan siyasah. Penjelasan tentang hal tersebut tidak mungkin menghindarkan dari biografi tokoh pendiri madzhab yang diikuti oleh NU.
A.
Akidah
Permasalahan-permasalahan keagamaan sebenarnya sudah ada sejak zaman
Rasulullah Saw., masih hidup. Namun, waktu itu, setiap kali persoalan muncul,
para sahabat dapat segera memecahkannya dengan jalan Rasulullah Muhammad Saw.
Apabila ada ayat-ayat yang kurang bisa dipahami, Sahabat akan menanyakannya
langsung kepada Rasul, dan segera mendapatkan jawabannya. Apabila terjadi
perbedaan pendapat, Rasulullah Saw. akan menengahi dan selesailah masalah.
Namun begitu, setelah wafatnya Baginda Rasulullah Muhammad Saw., seiring
dengan berjalannya waktu, berbagai permasalahan keagamaan terus bermunculan.
Al-Qur’an dan Hadist yang menjadi pondasi utama umat Islam dalam berakidah dan
beribadah ditafsirkan secara berbeda-beda, sehingga niscaya menimbulkan
pemahaman yang berbeda.
Sesungguhnya persengketaan akidah pada mulanya diakibatkan oleh
pertentangan masalah imamah. Dari
persoalan tersebut, kemudian merambah ke wilayah agama, terutama seputar hukum
seorang muslim yang berdosa besar dan bagaimana statusnya ketika ia meninggal;
mukmin ataukah sudah kafir.[3] Dari situ, pembicaraan
tentang akidah kemudian meluas ke persoalan-persoalan Tuhan dan manusia baik
menyangkut perbuatan dan kekuasaan Tuhan, juga sifat keadilan Tuhan, sampai
pada persoalan apakah Al-Qur'an termasuk makhluk atau bukan.
Sampai kemudian lahirlah paham-paham akidah, seperti Qadariyah, Jabbariyah,
Mu’tazilah, Asy'ariyah dan Maturidiyah. Dua kelompok terakhir itulah yang
mengambil sikap moderat yang kemudian dikenal dengan pahamnya Ahlusunnah wal Jamaah.
Disebut Asy‘ariyah karena madzhab tersebut didirikan oleh Imam Abu al-Hasan al-Asy'ari, dan Maturidiyah karena pendirinya adalah Imam Abu Manshur al-Maturidi.
1. Abu
Al-Hasan Al-Asy’ari
Ahlusunnah
wa Jama’ah sering juga disebut dengan
ahlussunnah, atau sunni, atau kadang-adang disebut 'Asy'ari atau Asy'ariyah,
dikaitkan kepada guru besar yang bertama, Abu al-Hasan 'Ali al-Asy'ari. Nama
lengkap beliau adalah Abu Hasan Ali bin Ismail, bin Abi Basyar, Ishaq bin
Salim, bin Isma'il, bin Abdillah, bin Musa, bin Bilal, bin Abi Burdah, bin Abi
Musa al-Asy'ari.[4]
Abu Hasan 'Ali, lahir di Bashrah (Irak) tahun 260 H, 55 tahun sesudah
meningalnya Imam Syafi'i. Pada mulanya, Abu Hasan merupakan murid dari ayah tirinya
sendiri, bernama Syeikh Abu 'Ali Muhammad bin Abdul Wahab Al-Jabai yang
merupakan ulama besar Mu'tazilah. Pada waktu Abu Hasan berusia remaja,
Mu'tazilah memang menjadi paham penguasa, dan ulama-ulama Mu'tazilah banyak
sekali bisa dijumpai, baik di Bashrah, Kuffah, maupun Baghdad.
Imam Abu Hasan al-Asy'ari kemudian mendapatkan hidayah bahwa dalam paham
Mu'tazilah terdapat banyak kesalahan besar yang bertentangan dengan i'tiqad dan
kepercayaan Nabi Muhammad Saw., dan sahabat-sahabat beliau, selain juga banyak
yang bertentangan dengan al-Qur'an dan Hadis. Maka, beliau kemudian memutuskan
keluar dan tampil sebagai penentang untuk melawan pendapat-pendapat kaum
Mu'tazilah.[5]
Abu Hasan Al-Asy’ari banyak berjuang menegakkan akidah Ahlusunnah wal
Jamaah dengan menggunakan tulisan maupun lisan, menandingi kaum Mu’tazilah.
Beliau telah merumuskan dan menulis kitab-kitab akidah sehingga namanya
terkenal sebagai seorang ulama Tauhid. Di antara kitab-kitab terkenal karangan
beliau adalah, Ibanah fi Ushuluddiyanah yang
tediri dari 3 jilid besar, Maqallatul Islamiyiin, Al Mujaz, dan masih banyak lagi.
Akidah Asy'ariyah merupakan jalan tengah (tawasuth) di antara
kelompok-kelompok keagamaan yang berkembang pada masa masa itu (abad 3 H).[6] Kita paham, paling tidak ada dua kelompok yang saling bertolak
belakang, yakni Jabariyah dan Qadariyah yang keduanya dikembangkan oleh
Mu'tazilah.
Sikap tawasuth ditunjukkan oleh Asy'ariyah dengan konsep al-kasb (upaya). Menurut Asy'ari, perbuatan
manusia diciptakan oleh Allah, namun manusia memiliki peranan dalam
perbuatannya. Kasb memiliki makna
kebersamaan kekuasaan manusia dengan perbuatan Tuhan. Kasb juga memiliki makna keaktifan dan bahwa
manusia bertanggung jawab atas perbuatannya.
Berbeda dengan Jabbariyah yang
menganggap bahwa manusia tidak memiliki daya dan upaya sama sekali,
konsep Kasb Asy'ariyah menempatkan manusia sebagai
manusia yang selalu berusaha secara kreatif dalam kehidupannya, namun tidak
melupakan bahwa Tuhanlah yang menentukan semuanya.[7]
Paham akidah seseorang tentu saja sangat memengaruhi pola kehidupannya sehari-hari,
bukan saja pada masalah kepercayaan (keimanan), tetapi menyangkut urusan
ekonomi, budaya dan persoalan-persoalan lainnya.
Konsep akidah Asy’ari banyak diterima bukan hanya disebabkan lebih mudah
dicerna akal sehat, tetapi karena ia mendasarkan konsep akidahnya dengan
mengutamakan dalil-dalil Al-Qur’an dan Hadist di atas akal dan pikiran.
Asya’ari tidak menolak peran akal, sebab memahami al-Qur’an dan Hadist tanpa
akal adalah mustahil. Tetapi kemampuan akal terbatas, dan penggunaan akal dalam
menerjemahkan wahyu tidak bisa semena-mena. Adakalanya hal-hal yang berkaitan
dengan masalah-masalah akidah (seperti Kehendak Allah, Keadilan Allah, dll)
tidak bisa dijangkau oleh akal. Pada saat yang demikian itulah akal mesti
tunduk kepada wahyu.
Pada perkembangannya, Paham Asy’ariyah terus menyebar dan meluas. Kian lama
kian banyak bermunculan ulama-ulama yang mengikuti, memperkuat, dan
mengembangkan paham Asy’ariyah. Salah satunya adalah Imam Abu Mansur
Al-Maturidi.
2. Abu
Manshur Al-Maturidzi
Nama lengkapnya Muhammad bin Muhammad bin Mahmud. Beliau lahir di
Samarqand, tepatnya di sebuah desa bernama Maturid.[8]
Paham akidah Maturidiyah dan Asy'ariyah memiliki keselarasan. Makanya,
kedua imam besar inilah yang kemudian dianggap sebagai pembangun Madzhab Ahlusuunnah
wal Jama’ah. Kalau ada yang berbeda antara keduanya, itu hanya pada madzhab
fiqh yang mereka ikuti. Asy'ariyah menggunakan madzhab Imam Syafi'i dan Imam
Malik, sementara Maturidiyah menggunakan madzhab Imam Hanafi.
Di antara pemikiran Abu Manshur Al-Maturidi dalam masalah akidah adalah
upaya mendamaikan antara dalil aqli dan naqli (akal dan wahyu). Paham
Maturidiyah berpendapat bahwa, apabila kita berhenti berbuat pada saat tidak
terdapat nash (naql) maka itu
merupakan suatu kesalahan, sama juga salah apabila kita larut tidak terkendali
dalam menggunakan rasio ('aql).[9]
Jadi, antara 'aql dan naql memiliki peranan yang sama pentingnya.
Menafikan peran akal dalam memahami dalil naql merupakan
suatu kemustahilan.
Sekilas, pandangan tersebut sama dengan konsep 'Asy'ariyah, tetapi
sebenarnya terdapat perbedaan, yakni pada posisi akal terhadap wahyu. Dalam
buku Aswaja An-Nahdhiyyah[10] dijelaskan bahwa menurut Maturidiyah, wahyu harus diterima penuh.
Tapi jika terjadi perbedaan antara wahyu dan akal maka akal harus berperan
menatakwilkannya. Terhadap dalam ayat-ayat tajsim (Allah
bertubuh) atau tasybih (Allah serupa
makhluk), misalnya, harus ditafsirkan dengan arti majazi (kiasan). Contoh seperti lafal “Yadullah” yang arti aslinya "Tangan
Allah" ditakwil menjadi "kekuasaan Allah".
Lagi, tentang sifat Allah. Maturidiyah dan Asy'ariyah sama-sama
menerimanya. Namun, sifat-sifat itu buka sesuatu yang berada di luar zat-Nya.
Sifat tidak sama dengan zat, namun tidak dari selain Allah. Misalnya, Tuhan
Maha Mengetahui bukanlah dengan Zat-Nya, tetapi dengan pengetahuan ('ilmu)-Nya
(ya'lamu bi 'ilmihi).
Dalam persoalan kekuasaan dan kehendak (Qudrah dan Iradah) Tuhan,
Maturidiyah berpendapat bahwa kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan dibatasi oleh
Tuhan sendiri. Jadi kehendak Tuhan tidak mutlak. Meskipun demikian Tuhan tidak
dapat dipaksa atau terpaksa dalam berbuat, melainkan sesuai dengan apa yang
dikehendaki-Nya.
Misalnya, Allah menjanjikan orang baik akan masuk surga, dan sebaliknya
orang jahat masuk neraka, maka Allah akan menepati janji-janji tersebut. Namun,
manusia diberikan kebebasan oleh Allah dalam menggunakan daya untuk memilih
antara yang baik dan yang buruk.
Dengan demikian, menurut paham Maturidiyah, perbuatan itu tetap diciptakan oleh Tuhan. Sehingga perbuatan manusia sebagai perbuatan bersama antara manusia dan Tuhan. Allah yang mencipta, sementara manusia meng-kasab-nya.
B.
Syariah/Fiqih
Sumber hukum Islam (Fiqh) yang utama adalah Al-Qur’an dan hadist. Sementara
kita tahu bahwa ayat-ayat al-Qur’an tidak bertambah dan tidak berkurang.
Sedangkan permasalahan-permasalahan baru terus muncul seiring perkembangan
zaman. Maka, dibutuhkan upaya penggalian hukum, atau yang lebih sering disebut
dengan istilah ijtihad.
Ijtihad sendiri sebenarnya sudah ada sejak zaman Rasulullah Saw., ketika
Sahabat menjumpai suatu persoalan yang harus segera diputuskan sementara mereka
tidak sedang bersama Rasulullah. Pada masa Khulafarurrashidin, khalifah kerap
mengumpulkan para Sahabat untuk membahas suatu masalah dan menentukan hukumnya,
lalu lahirlah ijma’ atau kesepakatan.
Di antara tokoh yang mampu berijtihad sejak generasi sahabat, tabi'in, dan
tabi'ut tabi'in, terdapat banyak tokoh yang ijtihadnya kuat (disebut mujtahid mustaqil). Bukan hanya mampu berijtihad
sendiri tetapi juga mampu menciptakan pola pemahaman (manhaj) tersendiri terhadap sumber pokok hukum Islam,
yakni al-Qur'an dan Hadis. Hal tersebut dibuktikan dengan metode ijtihad yang
mereka rumuskan sendiri, menggunakan kaidah-kaidah ushul fiqh, qawa'idul ahkam, qawa'idul fiqhiyyah dan sebagainya. Proses dan prosedur
ijtihad yang mereka hasilkan dilakukan sendiri tersbut mendandakan bahwa secara
keilmuan dan pemahaman keagamaan serta ilmu penunjang dalam berijtihad lainnya
telah mereka miliki dan kuasai.[11]
Perbedaan pendapat (ikhtilaf) dalam
masalah fiqih memang tidak bisa dicegah, tetapi bukan berarti setiap orang
bebas untuk berijtihad (menjadi mujtahid). Bagi orang awam, mengikuti para imam
madzhab adalah wajib, demikian pendapat ulama Nahdhiyyin.
Madzhab sendiri berarti jalan yang ditempuh untuk mencapai tujuan dalam
masalah keagamaan. Pada hakikatnya, semua orang pasti bermadzhab. Kalau tidak
bermadzhab pada madzhab-madzhab lama, mereka bermadzhab kepada madzhab yang
baru. Taqlid (mengikuti) pada imam madzhab bukanlah
suatu kemunduran, tetapi justru sebagai sarana melestarikan dan mengembangkan
ajaran Islam. Dengan bermadzhab, pewarisan dan pengamalan ajaran Islam menjadi
terpelihara, ajaran Islam terjamin kemurniannya.
Para imam madzhab adalah orang-orang yang sudah terkenal kealimannya dan
sangat menguasai ilmu-ilmu al-Qur'an dan hadist. Jadi, apabila dikatakan bahwa
bermadzhab bukanlah jalan yang diajarkan oleh Rasulullah, sesungguhnya hal
tersebut tidak berdasar. Sebab para Imam madzhab adalah orang-orang yang
ketaatannya pada al-Qur'an dan sunnah sudah teruji. Bermadzhab berarti
mengikuti apa yang sudah menjadi pegangan imam madzhab.
Dalam ranah fiqh, NU bermadzhab kepada madzhab empat yang masyhur, yakni,
Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hambali. Pertanyaan yang krap muncul adalah,
kenapa NU hanya memilih empat madzhab untuk dijadikan pijakan dalam berfiqh?
Dalam buku Aswaja an-Nahdliyah, sebagaimana dikutip K.H Busyairi Harist,[12] adalah karena: Pertama, kualitas
pribadi dan keilmuan mereka sudah masyhur. Jika disebut nama mereka hampir
dipastikan mayoritas umat Islam di dunia mengenal dan tidak perlu lagi
menjelaskan secara detail tentang keilmuan mereka. Kedua, keempat
Imam madzhab tersebut merupakan Imam Mujtahid Mutlak Mustaqil,
yaitu imam mujtahid yang mampu secara mendiri menciptakan manhaj al-fiqr (metode berpikir), pola, proses dan
prosedur istimbath dengan seluruh perangkat yang
dibutuhkan. Ketiga, Imam madzhab itu mempunyai murid-murid yang secara
konsisten mengajar dan mengembangkan madzhabnya yang didukung oleh buku induk
yang masih terjalin keasliannya hingga saat ini. Keempat, jika ditelusuri ternyata para Imam madzhab
tersebut mempunyai mata rantai dan jaringan intelektual di antara mereka.
1. Abu
Hanifah An-Nu’man Ibn Tsabit
Nama lengkapnya adalah Imam Nu’man bin Tsabit. Beliau sering disebut Imam
Abu Hanifah, sementara madzhabnya dikenal dengan Madzhab Hanafi. Imam Abu
Hanifah adalah golongan Tabiin yang lahir pada tahun 80 H dan wafat tahun 150
H.
Abu Hanifah mendapat gelar Al-Imam al-A'ham (Imam
Agung), dan menjadi tokoh panutan di Iraq. Beliau juga dikenal sebagai penganut
aliran ahlu ra'yi dan bahkan menjadi menjadi tokoh
sentralnya. Di katakan Ahl ra’yi bukan
berarti Abu Hanifah hanya mengandalkan akalnya. Tetapi dalam memandang Nash, beliau lebih memandang apa yang ada di
balik nash (al-Qur’an dan Hadis), bukan secara tekstual.
Di antara manhaj istinbath-nya yang terkenal
adalah konsep al-Ihtihsan.
Meskipun Abu Hanifah sangat terkenal sebagai Imam madzhab fiqh tetapi tidak ada satu kitab pun yang beliau tulis sampai kepada kita. Fiqh Abu Hanifah yang menjadi rujukan utama madzhab Hanafi ditulis oleh dua orang murid utamanya: Imam Abu Yusuf Ibrahi dan Imam Muhammad bin Hasan As-Syaibani.
2.
Maliki Ibn Annas
Malik bin Annas dilahirkan tahun 93 H dan wafat tahun 179 H di Madinah.
Kelak, ia dikenal sebagai Imam Malik, pendiri madzhab Maliki.
Imam Malik adalah seorang ahli hadist yang masyhur dengan kitab
monumentalnya berjudul ‘Al-Muwatha' di
nilai sebagai kita hadits hukum yang paling shahih. Bahkan, Khalifah Harun
Ar-Rasyid pernah bermaksud menggantung kitab al-Muwatha' di Ka'bah dan menyuruh
seluruh umat Islam untuk mengikuti isinya. Tapi, Imam Malik menjawab: ”Jangan
engkau lakukan itu, karena para shahabat Rasulullah SAW saja berselisih
pendapat dalam masalah furu’(cabang),
apalagi (kini) mereka telah berpencar ke berbagai negeri.” Imam Malik menyadari
bahwa dalam masalah fiqh perbedaan adalah suatu keniscayaan.
Imam Malik memiliki metode tersendiri dalam meng-istimbath-kan
hukum, dan metodenya tersebut masih berpengaruh sampai sekarang. Di antara
langkah penting yang ditawarkan oleh Madzhab Maliki dalam berijtihad adalah
pengunaan al-maslahah al-mursalah. Teori al-Maslahah al-Mursalah diilhami oleh satu paham
bahwa syari’ah Islam bertujuan mendatangkan manfaat, kesejahteraan dan
kedamaian bagi kepentingan masyarakat dan mencegah kemudharatan.
Selain itu, Imam Malik juga melahirkan manhaj istimbath “Amal al-Ahl al-Madinah” yaitu perilaku sehari-hari penduduk Madinah. Imam Malik menempatkan penduduk Madinah sebagai orang yang paling tahu terhadap sunnah Rasul, termasuk nasakh dan mansukhnya. Apabila penduduk Madinah itu sepakat tentang sesuatu perilaku, maka kesepakatan ini lebih tinggi nilainya dibanding qiyas dan khabar ahad (kendati sahih sanad).
3.
Muhammad Ibn Idris asy-Syafi’i
Pendiri Madzhab Syafi'i ini memiliki nama lengkap Muhammad bin Idris
asy-Syafi'i. Imam Syafi'i dilahirkan di Ghozza tahun 150 H dan wafat tahun 204
H di Mesir. Beliau adalah juga murid dari Imam Malik di Madinah dan Imam
Muhammad bin Hasan di Baghdad yang merupakan murid senior dari Imam Abu
Hanifah. Pada masa wafatnya Imam malik (179 H), Imam Syafi’i telah dipercaya
sebagai seorang fuqaha yang masyhur di Hijaz dan jazirah arab lainnya.
Karya monumental dari Imam Syafi'i berjudul Ar-Risalah, sebuah kitab ushul fiqh yang pertama sampai kepada kita. Kitab
itu pula yang membuat beliau dikenal sebagai Bapak Ushul Fiqh.
Sementara itu fatwa-fatwa fiqh Imam Syafi'i dikelompokkan menjadi dua macam, yang kemudian dikenal sebagai al-Qoul Qodim dan al-Qoul Jadid. Al-Qoul Qodim (pendapat lama) merangkum pendapat-pendapat Imam Syafi'i sewaktu beliau berada di Baghdad, sementara al-Qoul Jadid (pendapat baru) merangkum pendapat-pendapat beliau setelah berada di Mesir. Semua pendapat-pendapat tersebut, terangkum dalam kitab al-Umm.
4.
Ahmad Ibn Hanbal
Nama lengkapnya Abu Abdullah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal, sering disebut dengan Imam Hambali. Beliau dilahirkan di Baghdad, pada tanggal 20 Rabiul Awwal tahun 164 H. Ketika masih bayi, Imam Ibn Hambal dibawa ke Baghdad tempat ayahnya meninggal dalam usianya yang sangat dini, 30 tahun. Imam Ibn Hambal merupakan murid Imam Syafi'i selama di Baghdad. Sampai Imam Syafi'i wafat beliau masih selalu mendoakannya. Imam Ahman bin Hambal mewariskan sebuah kitab hadits yang terkait dengan hukum Islam berjudul Musnad Ahmad.
C. Bertasawuf
Dalam bidang tasawuf Aswaja memiliki prinsip untuk dijadikan pedoman bagi
kaumnya. Sebagaimana dalam masalah akidah dan fiqih, dimana Aswaja mengambil
posisi yang moderat, tasawuf Aswaja juga demikian adanya.
Manusia diciptakan Allah semata-mata untuk beribadah, tetapi bukan berarti
meninggalkan urusan dunia sepenuhnya. Akhirat memang wajib diutamakan ketimbang
kepentingan dunia, namun kehidupan dunia juga tidak boleh disepelekan. Dalam
emenuhi urusan dunia dan akhirat mesti seimbang dan proporsional.
Dasar utama tasawuf Aswaja tidak lain adalah Al-Qur’an dan Sunnah. Oleh
karena itu, jika ada orang yang mengaku telah mencapai derajat Makrifat namun
meninggalkan al-Qur’an dan sunnah, maka ia bukan termasuk golongan Aswaja.
Meski Aswaja mengakui tingkatan-tingkatan kehidupan rohani para sufi, tetapi
Aswaja menentang jalan rohani yang bertentangan dengan al-Qur’an dan as-Sunnah.
Imam Malik pernah mengatakan, “Orang yang bertasawuf tanpa mempelajari
fikih telah merusak imannya, sedangkan orang yang memahami fikih tanpa
menjalankan tasawuf telah merusak dirinya sendiri. Hanya orang yang memadukan
keduanyalah yang akan menemukan kebenaran.”[13]
Sudah sepantasnya, para sufi harus selalu memahami dan menghayati
pengalaman-pengalaman yang pernah dilalui oleh Nabi Muhammad selama
kehidupannya. Demikian juga pengalaman-pengalaman para sahabat yang kemudian
diteruskan oleh tabi’in, tabi’ut tabi’in sampai
pada para ulama sufi hingga sekarang. Memahami sejarah kehidupan (suluk) Nabi
Muhammad hingga para ulama waliyullah itu,
dapat dilihat dari kehidupan pribadi dan sosial mereka. Kehidupan individu
artinya, ke-zuhud-an (kesederhanaan duniawi), wara’ (menjauhkan diri dari perbuatan tercela) dan
dzikir yang dilakukan mereka.[14] Kehidupan
sosial, yakni bagaimana mereka bergaul dan berhubungan dengan sesama
manusia. Sebab tasawuf tercermin dalam akhlak; bukan semata hubungan
manusia dengan Tuhan, tetapi juga hubungan manusia dengan manusia
lainnya.
Jalan sufi yang telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad dan para pewarisnya
adalah jalan yang tetap memegang teguh perintah-perintah syari’at. Karena itu,
kaum Aswaja An-Nahdliyah tidak dapat menerima jalan sufi yang melepaskan diri
dari kewajiban-kewajiban syari’at, seperti praktik tasawuf al-Hallaj (al-hulul) dengan pernyataannya “ana al-haqq” atau tasawuf Ibnu ‘Arabi (ittihad; manunggaling kawula gusti).[15]
Kaum Aswaja An-Nahdliyah hanya menerima ajaran-ajaran tasawuf yang moderat, yakni tasawuf yang tidak meninggalkan syari’at dan aqidah sebagaimana sudah dicontohkan al-Ghazali, Junaid al-Baghdadi, juga Syekh Abdul Qadir al-Jailani.
1. Abdl
Qadir al-Jailani
Beliau lahir pada 470 H. (1077-1078) di al-Jil (disebut juga Jailan dan
Kilan), kini termasuk wilayah Iran. Ibunya, Ummul Khair Fatimah bint al-Syekh
Abdullah Sumi merupakan keturunan Rasulullah Saw., melalui cucu terkasihnya
Husain. Suatu ketika Ibunya berkata, "Anakku, Abdul Qadir, lahir di bulan
Ramadhan pada siang hari bulan Ramadhan, bayiku itu tak pernah mau diberi
makan."[16]
Ketika berusia 18 tahun, beliau pergi meninggalkan kota kelahirannya menuju
Baghdad. "Kudatangi ibuku dan memohon kepadanya, 'izinkan aku menempuh
jalan kebenaran, biarkan aku pergi mencari ilmu bersama para bijak dan
orang-orang yang dekat kepada Allah.'"[17] Pada
waktu itu, Baghdad dikenal sebagai pusat ilmu pengetahuan.
Di Baghdad beliau belajar kepada beberapa orang ulama, antara lain
Ibnu Aqil, Abul Khatthat, Abul Husein al Farra' dan
juga Abu Sa'ad al Muharrimiseim. Beliau menimba ilmu pada ulama-ulama
tersebut hingga mampu menguasai ilmu-ilmu ushul dan juga
perbedaan-perbedaan pendapat para ulama.
Selanjutnya, pada tahun 521 H/1127 M, Syekh Abdul Qadir al-Jailani mengajar
dan menyampaikan fatwa-fatwa agama kepada masyarakat. Tidak butuh waktu lama
beliau segera dikenal masyarakat luas. Selama 25 tahun, beliau menghabiskan
waktunya sebagai pengembara di Padang Pasir Iraq dan akhirnya dikenal oleh
dunia sebagai tokoh sufi yang masyhur.
Syaikh Abdul Qadir al-Jailani dikenal sebagai pendiri Tarekat Qodiriyah,
sebuah istilah yang tidak lain berasal dari namanya. Tarekat ini terus
berkembang dan banyak diminati oleh kaum muslimin. Meski Irak dan Syiria
disebut sebagai pusat dari pergerakan Tarekat tersebut, namun pengikutnya
berasal dari belahan negara muslim lainnya, seperti Yaman, Turki, Mesir, India,
hingga sebagian Afrika dan Asia, termasuk Indonesia.
2. Abu
al-Qosim Al-Junaidi Al-Baghdadi
Nama lengkap beliau adalah Abu al-Qosim al-Junaid bin Muhammad bin
al-Junaid al-Khazzaz al-Qowariri al-Nahawandi al-Baghdadi. Beliau dilahirkan di
kota Baghdad tanpa diketahui secara pasti tahun kelahirannya. Ayahnya seorang
pedagang barang pecah belah, sementar Ibunya merupakan saudara kandung Sari bin
al-Mughallis al-Saqathi (w.235 H/867M), seorang tokoh sufi terkemuka yang kelak
menjadi gurunya.
Al-Junaid dikenal cerdas, dan pada usia dua puluh tahun bela telah mampu
mengeluarkan fatwa. Semua kalangan menerima madzhab yang dibangunnya, dan
beliau disepakati sebagai penyandang gelar “Syekh al-Thaiifah al-Shufiyyah
wa Sayyiduha” (Tuan Guru dan Pemimpin kaum sufi).
Abdul Wahhab al-Sya’rani, sebagaimana dikutip Dr. K.H Saefuddin Chalim,[18] mengungkapkan paling tidak ada empat faktor yang mengantarkan
al-Junaid menjadi satu-satunya figur yang berhak menyandang gelar tersebut
sehingga diakui sebagai acuan dan standar dalam tasawuf Ahlussnah wal Jama’ah.
Pertama, konsistensi terhadap al-Kitab dan Sunnah. Penguasaan al-Junaid terhadap
al-Qur’an dan Sunnah membawa pengaruh positif terhadapnya dalam membangun
madzhabnya di atas fondasi Islam yang kuat dan shahih. Beribadah tanpa adanya
pengetahuan yang memadai dianggap bisa membawa seseorang ke dalam kesesatan.
Oleh karenanya, al-Junaid begitu mengedepankan ilmu agama sebagai pegangan kaum
sufi dalam menempuh jalan suluk.
Kedua, konsistensi terhadap syari’ah. Para ulama
mengakui bahwa belum pernah ditemukan di antara isyarat-isyarat al-Junaid dalam
bidang tasawuf yang bertentangan dengan syari’ah. Syariah adalah rel yang jika
seorang sufi keluar dari jalurnya maka pintu kebaikan akan tertutup baginya.
Ketiga, kebersihan dalam akidah. Al-Junaid membangun madzhabnya di atas fondasi
akidah yang bersih, yaitu akidah Ahlussunah wal Jama’ah.
Keempat, ajaran tasawuf yang moderat. Ajaran tasawuf yang moderat merupakan ciri-ciri tasawuf Ahlussunah wal Jama’ah. Al-Junaid memandang bahwa orang yang baik bukanlah orang yang berkonsentrasi melakukan ibadah saja, sementara ia tidak ikut berperan aktif dalam memberikan kemanfaatan kepada manusia. Pandangan tasawuf yang demikian mematahkan tasawuf ekstrem yang beranggapan bahwa jika seseorang sudah sampai pada derajat makrifat atau wali, maka pengamalan terhadap ajaran-ajaran agama tidak diperlukan lagi baginya.
3.
Muhammad Ibn Muhammad al-Ghazali
Al-Ghazali memiliki nama lengkap Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin
Muhammad al-Ghazali Al-Thusi. Beliau dilahirkan di kota Thus (daerah Khurasan)
tahun 450 H/1058M. Beliau dikenal dengan al-Ghazali karena berasal dari desa
Ghazalah, atau ada yang menganggap bahwa sebutan al-Ghazali melekat karena
ayahnya bekerja sebagai pemintal tenun wol.
Masa kecil dan masa muda al-Ghazali dipenuhi dengan belajar ilmu agama,
dari satu tempat ke tempat lain dan dari satu guru ke guru lain. Ia pernah
belajar kepada Ahmad bin Muhammad al-Radzikani al-Thusi, Imam Abu Nashr
al-Isma’ili, Syekh Yusuf al-Nassaj, Imam Abu al-Ma’ali Abdul Malik bin Abdllah
al-Juwaini yang merupakan ulama terkemuka Madzhab Syafi’i.
Kecemerlangan Al-Ghazali mengantarkannya menduduki guru besar di
Universitas Nizhamiyah Baghdad (Tahun 848/1091M). Di sanalah, waktu itu,
Al-Ghazali dikelilingi dengan berbagai kesenangan duniawi, tetapi hal tersebut
tidak membuatnya bahagia. Lalu beliau memutuskan untuk pindah ke Damaskus di
Syiria dan tinggal di kota itu. Di sana beliau lebih banyak beri’tikaf dan
berzikir, menjalani riyadhah dan mujahadah. Setelah dua tahun, al-Ghazali kemudian
meninggalkan Damaskus menuju Baitul Maqdis di Palestina.
Imam al-Ghazali sebagai pelopor sufi mengembangkan tasawuf kepada dasar
aslinya seperti yang diamalkan oleh para sahabat Rasulullah Saw. Ia telah
menulis puluhan kitab, dan yang paling terkenal adalah Ihya Ulumiddin (Menghidupkan kembali ajaran
Islam). Melalui kitab tersebut al-Ghazali memberikan pegangan dan pedoman
perkembangan tasawuf Islam, dan menjadi rujukan bagi mereka dalam mengembangkan
paham positifisme yang sesusi dengan akidah dan syariah.[19]
Iman, Islam, dan ihsan mesti sejalan bersamaan. Beriman tanpa menjalankan
ibadah sesuai syariat membuat keimanan seseorang diragukan. Sementara
ihsan adalah amal shalih, yang diwujudkan dalam akhlakul karimah dan kedekatan
hamba terhadap Tuhan.
Dengan tasawuf al-Ghazali, Syekh Abdul Qadir al-Jailani, dan Junaid al-Baghdadi, kaum Aswaja An-Nahdliyah diharapkan menjadi umat yang selalu dinamis dan dapat menyandingkan antara tawaran-tawaran kenikmatan bertemu dengan Tuhan dan sekaligus dapat menyelesaikan persoalan-persoalan yang dihadapi oleh umat. Hal semacam ini pernah ditunjukkan oleh para penyebar Islam di Indonesia, Walisongo. Secara individu, para wali itu memiliki kedekatan hubungan dengan Allah dan pada saat yang sama mereka selalu membenahi akhlaq masyarakat dengan penuh kebijaksanaan. Dan akhirnya ajaran Islam dapat diterima oleh seluruh lapisan masyarakat dengan penuh kaikhlasan dan ketertundukan.[20]
D. Siyasah Abu al-Hasan Ali Ibn Muhaammad al-Mawardi
Sejak awal berdirinya, NU banyak terlibat dalam masalah politik, baik
politik praktis maupun kultural. Kita tidak bisa melupakan era-era awal
kemerdekaan, banyak tokoh NU yang menduduki jabatan di pemerintahan. Bahkan,
pada tahun 1952, lewat Muktamar NU ke-19, NU memutuskan untuk menjadi partai
politik yang kemudian bubar saat Orde Baru berkuasa (tahun 1973).
Muktamar NU ke-27 tahun 1984 di Situbondo menjadi satu titik penting dalam
sejarah NU. Dalam Muktamar tersebut NU menegaskan dirinya sebagai organisasi
keagamaan yang lebih banyak berkonsentrasi dalam masalah-masalah yang dihadapi
umat Islam. Sebenarnya, wacana kembali ke Khittah NU tahun 1926 sudah lama
disuarakan, namun baru menjadi diskusi dan perdebatan yang serius ketika
Muktamar di Sitbondo.
Dalam formulasi Khittah NU ditegaskan bahwa NU tidak terlibat dalam
organisasi politik dan organisasi kemasyarakatan manapun. Namun begitu, NU
tidak melarang anggotanya untuk terlibat dalam urusan politik, karena hal
tersebut bukanlah eksistensi dari Khittah.
Dalam Muktamar ke-28 di Yogyakarta (1989) dirumuskan 9 (sembilan) Pedoman
Politik Warga NU, yaitu garis-garis pedoman untuk melangkah bagi kaum Nahdhiyin
yang menerjuni dunia politik dengan tetap menjunjung tinggi Khitthah Nahdlatul
Ulama.
Di lingkungan NU juga dikenal istilah Politik Kebangsaan, Politik
Kerakyatan dan Politik Kekuasaan. Berikut ini 9 Pedoman Politik Warga NU
dimaksud:
1. Berpolitik bagi Nahdlatul Ulama mengandung arti keterlibatan warga negara
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara secara menyeluruh sesuai dengan
Pancasila dan UUD 1945.
2. Politik bagi Nahdlatul Ulama adalah politik yang berwawasan kebangsaan dan
menuju integrasi bangsa dengan langkah-langkah yang senantiasa menjunjung
tinggi persatuan dan kesatuan untuk mencapai cita-cita bersama, yaitu
terwujudnya masyarakat yang adil dan makmur lahir batin, dan dilakukan sebagai
amal ibadah menuju kebahagiaan di dunia dan di akhirat.
3. Politik bagi Nahdlatul Ulama adalah pengembangan nilai-nilai kemerdekaan
yang hakiki dan demokratis, mendidik kedewasaan bangsa untuk menyadari hak,
kewajiban dan tanggung jawab untuk mencapai kemaslahatan bersama.
4. Berpolitik bagi Nahdlatul Ulama haruslah dilakukan dengan moral, etika dan
budaya yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, berperikemanusiaan yang adil dan
beradab, menjunjung tinggi persatuan Indonesia, berkerakyatan yang dipimpin
oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, dan berkeadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
5. Berpolitik bagi Nahdlatul Ulama haruslah dilakukan dengan kejujuran nurani
dan moral agama, konstitusional, adil, sesuai dengan peraturan dan norma-norma
yang disepakati, serta dapat mengembangkan mekanisme musyawarah dalam
memecahkan masalah bersama.
6. Berpolitik bagi Nahdlatul Ulama dilakukan untuk memperkokoh
konsensus-konsensus nasional, dan dilaksanakan sesuai dengan akhlakul karimah
sebagai pengamalan ajaran Ahlussunnah wal Jamaah.
7. Berpolitik bagi Nahdlatul Ulama, dengan dalih apapun, tidak boleh dilakukan
dengan mengorbankan kepentingan bersama dan memecah belah persatuan.
8. Perbedaan pandangan di antara aspiran-aspiran politik warga NU harus tetap
berjalan dalam suasana persaudaraan, tawadhu’ dan saling menghargai satu sama
lain, sehingga di dalam berpolitik itu tetap dijaga persatuan dan kesatuan di
lingkungan Nahdlatul Ulama.
9. Berpolitik bagi Nahdlatul Ulama menuntut adanya komunikasi kemasyarakatan
timbal batik dalam pembangunan nasional untuk menciptakan iklim yang
memungkinkan perkembangan organisasi kemasyarakatan yang lebih mandiri dan
mampu melaksanakan fungsinya sebagai sarana masyarakat untuk berserikat,
menyalurkan aspirasi serta berpartisipasi dalam pembangunan.[21]
Warga dan kiai NU yang ingin terjun ke dunia politik diperbolehkan asal
mengerti ilmu politik dan piawai menjalankan strategi siyasah dengan tidak membawa label organisasi.
Potensi politik kader NU juga hendaklah dikelola dengan profesional agar
memberikan kontribusi bagi NU dan tidak sekadar "menjual" organisasi.
Inilah pentingnya pemaknaan politik bagi kalangan Nadhiyin agar NU tidak
menjadi korban ketika pesta demokrasi.[22]
Menghindarkan dari urusan politik dan menyerahkan sepenuhnya kepada orang
yang tidak kompeten justru membahayakan. Selain menghayati Khittah NU, paling
tidak warga NU penting mengetahui rujukan siyasah kaum
Aswaja. Salah satu ahli fiqh siyasah yang
juga bermadzhab Syafi'i, yakni Abu Hasan al-Mawardi (w 450H).
Nama lengkapnya adalah Abu Hasan Ali bin Muhammad
bin Habib al-Mawardi al-Bashri. Al-Mawardi dilahirkan di Bashrah pada
tahun 364 H. atau 975 M. Panggilan al-Mawardi diberikan
kepadanya karena kecerdasan dan kepandaiannya dalam berorasi,
berdebat, berargumen dan memiliki ketajaman analisis
terhadap setiap masalah yang dihadapinya. Sementara
julukan al-Bashri dinisbatkan pada tempat kelahirannya.
Al-Mawardi kecil hingga remaja belajar fiqh Syafi’iyah di Bashrah sebelum
kemudian merantau ke Baghdad dan mendatangi para ulama untuk menyempurnakan
keilmuannya dalam bidang fiqh. Imam Al-Mawardi dikenal sebagai duta diplomasi
pemerintah bani Buwaih dan di sisi lain sebagai duta diplomasi khalifah
Abbasiyah, terutama khalifah Qoim Baimillah.
Salah satu di antara misinya selama menjadi duta diplomasi adalah untuk
mendamaikan antara kubu-kubu politik yang berseberangan dan kubu-kubu lain yang
sering berlindung di bawah kekuatan senjata dalam menyelesaikan persoalan.
Al-Mawardi telah menulis banyak kitab baik tafsir, fikih, hisbah, maupun sosio-politik. Satu karyanya yang
paling monumental adalah kitab Ahkam Shulthaniyyah (hukum-hukum
ketatanegaraan) yang sampai sekarang menjadi kitab rujukan paling poluper bagi
setiap orang yang mengkaji ilmu perpolitikan di kalangan Islam.
Selain itu, di antara pemikiran Al-Mawardi yang cukup terkenal adalah, pemetaan—bukan pemisahan—antara perkara dunia dan agama dalam bukunya Adabud Dunya wad Din (perkara Dunia dan Perkara Akhirat). Menurutnya, perkara dunia adalah perkara kenegaraan (politik), sedangkan perkara agama adalah syariat Tuhan. Pemisahan ranah politik dan agama menjadi penting dalam rangka mengantisipasi percampuran keduanya. Dengan begitu, politisasi agama dapat dihindarkan.[23]
[1] K.H. Siradjuddin Abbas, I’tiqad Ahlussunnah Wal Jama’ah, Cet-24, (Pustaka Tarbiyah:
Jakarta, 2000). hal. 17.
[2] Khittah NU, Keputusan Mukamar XXVII NU No 02/MN-27/1984.
[3] Tim PWNU Jawa Timur, Aswaja An-Nahdhiyyah, Cet.II (Khalista: Surabaya, 2007). hal. 11.
[4] Sirajuddin Abbas, Op.Cit, hal. 30-31.
[5] Ibid, hal. 31
[6] TIM PWNU Jawa Timur, Op.Cit. hal. 12
[7] Ibid, hal. 13.
[8] Sirajuddin Abbas, Op.Cit, hal. 33-34
[9] PWNU Jawa
Timur, Op.Cit. hal. 15.
[10] Ibid, hal. 16
[11] Ibid, hal. 20
[12] Drs. K.H. Busyairi Harits, M.Ag., Islam NU: Pengawal Tradisi Sunni Indonesia, (Khalista: Surabaya, 2010) hal. 7-8.
[13] Syekh Muhammad Hisyam Kabbani, Tasawuf dan Ihsan: Antivirus Kebatilan dan Kedzaliman, (Serambi: Jakarta, 2007). hal. 63
[14] PWNU Jawa Timur, Op.Cit., hal. 27
[15] Ibid., hal. 27
[16] Syekh Abdul Qadir al-Jailani, Kisah Hidup Sultan Para Wali dan Rampai PEsan yang Menghidupkan Hati, Cet. IV. (Penerbit Zaman: Jakarta, 2012). hal. 16
[17] Ibid, hal. 17.
[18] Dr. K.H Saifuddin Chalim, M.A Membumikan Aswaja, Pegangan para Guru NU, (Khalista: Surabaya, 2012). hal 137-142.
[19] H. Soelaeman Fadeli, dan Muhammad Subhan, S.Sos., Antologi NU: Sejarah, Istilah, Amaliah, Uswah, (Khalista:
Surabaya, 2007). hal. 152.
[20] PWNU Jawa Timur, Op.Cit. hal. 30
[21] H. Soeleiman Fadeli dan Mohammad Subhan, S..Sos, Op.Cip. Hal. 99-100.
[22] Khamami Zada dan A Fawaid Sjadzili (Ed), Nahdlatul Ulama: Dinamila Ideologi dan Politik
Kenegaraan, (Penebit Kompas:
Jakarta. 2010). hal.29
[23] Ibid, hal.109
http://www.tintaguru.com/2017/05/madzhab-akidah-fiqih-dan-tasawuf-nu.html?msclkid=a4070e6ec04a11ecb817f08fe58eb131
Akidah Tauhid dalam Muhammadiyah itu Sistem Kepercayaan Etis
Wakil Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah Hamim
Ilyas mengatakan bahwa rumusan akidah antara Muhammadiyah dan aliran teologi
Asy’ariyah memiliki banyak persamaan. Hanya saja ada perbedaan nyata yaitu:
dalam Asy’ariyah, akidah tauhid menjadi sistem kepercayaan spiritual, sementara
dalam Muhammadiyah menjadi sistem kepercayaan etis.
“Karena itu,
Ahlil Haqqi wa Sunnah dalam Muhammadiyah pengertiannya menjadi penganut
kebenaran yang membesakan dari ketidaksejahteraan, ketidakdamaian, dan
ketidakbahagiaan dan pengikut sunnah generasi salaf yang mengembangkan
kesalehan pribadi dan kesalehan sosial,” kata Hamim dalam Pengajian Tarjih
edisi 141 pada Rabu (22/09).
Selain ada
persamaan dan perbedaan dengan Asy’ariyah, Muhammadiyah dengan gerakan Wahabi
juga demikian. Persamaan Muhammadiyah dan Wahabi ialah keduanya menggunakan
slogan ‘kembali kepada al-Quran dan al-Sunah’, tidak berafiliasi mazhab
tertentu, dan penekanan terhadap ajaran tauhid yang murni. Sementara
perbedaannya, Wahabi kerap kali mempraktekkan intepretasi teks keagamaan secara
literal, tidak adaptif dengan konteks zaman, dan cenderung memilih pendapat
yang sulit dengan alasan kehati-hatian (ihtiyat).
“Akidah tauhid
wahabi itu konservatisme untuk mewujudkan kehidupan yang puritan, tidak ada campuran
dari yang lain dalam hampir segala hal. Kalau salafi jihadi, akidah tauhidnya
itu revivalisme, yaitu untuk membuat umat Islam menjalani hidup sekarang ini
seperti hidup yang dijalani pada zaman Nabi Saw, Sahabat, dan Tabiin,” kata
Hamim.
Salah satu ajaran Wahabi ialah anjuran agar perempuan tidak
banyak keluar rumah. Mereka sangat membatasi peran perempuan di ruang publik.
Hal tersebut lantaran mereka berkeyakinan bahwa perempuan pada masa kenabian
hingga generasi tabiin hanya mengurusi hal-hal domestik rumah tangga semata.
Artinya, perempuan tidak bisa menjadi pemimpin.
Berbeda dengan
Muhammadiyah, ‘Aisyiyah sebagai organisasi Islam dengan paham keagamaan yang
moderat telah mencontohkan bagaimana seharusnya perempuan berkiprah di ruang
publik. Mereka tidak hanya mengurusi rumah tangga, namun perempuan juga
memiliki tanggung jawab yang sama dalam tugas-tugas sosial untuk pencerahan dan
kesejahteraan umat manusia. Artinya dalam pandangan Muhammadiyah, perempuan
boleh menjadi pemimpin.
“Muhammadiyah
itu sistem akidah tauhidnya yaitu sistem kepercayaan etis, sehingga tauhid
berfungsi untuk kesejahteraan, kebahagiaan, dan kedamaian di dunia dan di
akhirat. Hal ini tentu saja berbeda,” ungkap Dosen Universitas Islam Negeri
Sunan Kalijaga ini.
https://muhammadiyah.or.id/akidah-tauhid-dalam-muhammadiyah-itu-sistem-kepercayaan-etis/?msclkid=f48291cac04a11ecb7168582c7ab73ca


.jpg)

%20-%20Format%20PNG.png)

.jpg)
.jpg)
.jpg)
.jpg)
.jpg)
.jpg)
.jpg)
.jpg)
.jpg)
.jpg)
.jpg)
.jpg)
.jpg)
.jpg)
.jpg)







